Blog Archive

Pages

Blogger templates

Blogger news

AUTUMN OUTSIDE THE POST OFFICE

>> Monday 10 October 2022

 

 


 

Musim gugur memeluk kota. Sejauh mata memandang, terlihat berbagai macam gradasi warna merah, kuning, dan cokelat. Semburat jingga mencuat dari balik awan-awan merah muda yang  berarak.  Seberkas cahaya mentari terbenam melengkapi lanskap kota yang dilatari hujan daun gugur. Angin bertiup syahdu, dengan  jahil memainkan anak rambut, pun ikut menerbangkan daun-daun yang berguguran ke segala penjuru kota, membuat jalanan dipenuhi daun yang berserakan. Beberapa petugas kebersihan tampak kewalahan mengatasi kekacauan yang ditimbulkan daun-daun tersebut. Sambil mengomel, mereka tetap sibuk membersihkan kota. Menjalankan tugas.

 Cuaca yang cukup dingin, membuat siapa saja bergegas merapatkan baju hangat mereka ke tubuh, mengusir rasa dingin yang menyergap. Lalu-lalang kendaraan di jalan semakin sedikit, dan mulai digantikan pejalan kaki yang juga beranjak pulang ke kediaman masing-masing untuk menghangatkan diri. Sama halnya dengan Rey.  Dia bergegas mengayuh sepeda usangnya menuju sebuah kantor pos tua yang berdiri tak jauh dari pusat kota. Hari ini tugas nya telah selesai. Ia memarkirkan sepeda tersebut di samping bangunan tua itu, dan tak lupa ia menjalankan rutinitas terakhirnya sebelum pulang ke rumah, mengucapkan salam perpisahan kepada burung-burung merpati yang selalu setia berada di sekitar kantor pos.

  ♫♫♫

Tepat di pinggir jalan sebuah kawasan, berdiri sebuah bangunan tua yang reyot dan usang. Terlihat jelas bahwa bangunan itu sudah dimakan waktu. Cat di dindingnya bahkan sudah mengelupas, digantikan dengan dinding kelabu yang bernoda akibat tempias air hujan. Beberapa keran air yang terletak di samping bangunan itu sudah terlihat rapuh, dan bocor di beberapa tempat, sehingga air tak henti-hentinya menetes dari sana, membuat sebagian halaman itu sedikit basah dan berlumut.

Bangunan tua  itulah tempat tinggal Rey. Ia tumbuh besar di sana, tanpa mengetahui siapa orang tua kandung nya, darimana asal nya, juga alasan kenapa dia ada di panti asuhan itu. Beribu pertanyaan selalu membajiri benak nya. Entah sampai kapan ia akhirnya siap menanyakan itu pada Ibu pemilik panti. Entahlah… Rey hanya takut pertanyaan nya akan mengacaukan semuanya. Boleh jadi, setelah mendengar cerita aslinya, ia malah semakin membenci orang tua nya. Atau bahkan, boleh jadi  ia ikut membenci takdir nya sebagai anak panti asuhan yang tak punya orang tua.

Rey duduk termenung di sudut ruangan. Seberkas cahaya mentari sore menelisik di sela-sela jendela, membuat garis-garis panjang membayang di lantai yang dingin. Tubuhnya lelah setelah seharian bekerja di kantor pos. Juga dengan batin nya. Ia lelah terus mencari jawaban atas pertanyaan-pertanyaan nya.  Akhirnya, setelah satu jam hanya merenung,  Rey memutuskan tidur lebih awal. Tidak peduli saat teman-teman sebaya nya mengajak bermain di luar. Ia hanya melambaikan tangan, mengambil posisi. Tidur.

♫♫♫

Akhirnya, pagi yang dingin kembali menyiram kota. Rey bangun dengan sedikit kesal. Tadi teman-temannya tertawa jahil, dengan sengaja mememercikkan air dingin ke muka nya, membuat bibir Rey bergetar kedinginan. Rey pun membalas nya dengan ikut memercikkan banyak air ke teman-temannya, membuat Franky, salah satu teman dekat nya di panti asuhan, basah kuyup. Dalam sekejap, Kamar kecil nan sempit itu menjadi tempat perang air dingin. Mereka tertawa lepas, membuat ramai panti asuhan tersebut sepagi buta.

Setelah meloloskan diri dari ‘medan perang’, Rey bergegas mandi dan berpakaian. Lalu sarapan seadanya dengan roti dingin sisa kemarin. Rey tampak buru-buru menghabiskan sarapannya. Maklum, dia takut telat tiba di kantor pos. Hari ini, ada sesuatu yang spesial baginya, dan dia tidak mau terlambat. Beberapa Temannya juga sudah bersiap siap pergi bekerja.

Di Panti Asuhan itu, untuk anak-anak yang sudah beranjak remaja, mereka dibebaskan jika ingin bekerja. Tapi ada juga remaja yang tidak bekerja, memilih menghabiskan waktu di panti asuhan, menjaga adik-adiknya. Mereka bebas memilih pekerjaan apapun, selama tidak ada hambatan. Dua tahun yang lalu, Rey memutuskan untuk bekerja di salah satu kantor pos. Menjadi kurir pengantar surat.

Rey tahu, Saat ini benar-benar hanya segelintir orang yang  masih berkirim pesan melalui surat. Peminat nya semakin sedikit semenjak Teknologi mutakhir bermunculan. Tapi Rey bersikeras ingin bekerja di sana. Menurut Rey, berkirim surat adalah hal yang romantis. Di tengah zaman yang semakin maju, terkadang hal kuno bisa menjadi sangat berharga. Maka berangkatlah Rey ke kantor pos, melamar kerja menjadi kurir. Tidak sulit baginya mencari alamat orang. Dia sudah hapal luar kepala isi kota tersebut. Maka, berbekal sepeda tua dari kantor pos, Rey mengantarkan surat-surat ke alamat tujuan, melintasi berbagai jalan dan tikungan, melewati berbagai hal dan pemandangan yang seru.

Rey mengenal seorang nenek yang di tinggal di sudut kota. Nenek ini selalu rajin mengirim surat nya ke kota seberang, dimana anak semata wayang nya sedang mengembara mencari ilmu. Dan Rey mengantarkan surat-surat balasannya ke rumah nenek itu. Ini adalah hal rutin yang dilakukan Rey setiap hari sabtu. Bagi Rey, nenek itu selalu spesial dan berarti banyak. Oleh karena itulah, Rey tidak pernah mau terlambat dari waktunya jika jadwal mengantar surat ke rumah nenek telah tiba.

Hari ini adalah waktu nya ke rumah nenek. Rey bersenandung riang melewati jalanan kota. Beberapa burung mengekorinya dari belakang . Kota terlihat ramai pagi ini. Tentunya dengan pemandangan jingga dan cokelat.  Musim gugur belum usai

“Hai, Nenek! Ada surat balasan untukmu. Seperti biasa”, teriaknya dari luar pagar.

Nenek tertawa renyah. Membuka pintu pagar. Mempersilakan Rey masuk ke rumah nya. Ini adalah salah satu hal yang disukai Rey. Nenek selalu mengajaknya masuk kerumah, lalu menyuguhkannya minuman dan makanan enak yang tidak mampu dia rasakan di panti asuhan. , Lalu mengobrol banyak hal dengan nenek. Nenek juga selalu membacakan isi surat-suratnya pada Rey,  juga buku-buku tua nya. Darinya, Rey bisa membayangkan betapa ajaibnya dunia di luar sana.

Nenek masih sama seperti kemarin. Tersenyum ramah. Mengajaknya masuk. meyiapkan makanan dan minuman. Tapi hari ini tampak ada yang berbeda dari biasanya. Mata memang selalu menjelaskan banyak hal. Entah kenapa mata nenek menyorotkan kesedihan. Tidak tampak binar di sana.

“Rey… Apakah kau rindu orang tua mu?” Nenek bertanya lembut sembari mengusap rambut Rey.

Rey tertegun. ‘Makan besar’ nya terhenti sejenak. Kenapa nenek tiba-tiba jadi bertanya seperti ini? Apa nenek sedih karena itu?

 “Eh.. Memangnya kenapa, Nek?” Rey bertanya canggung, berusaha menghilangkan sisa kekagetan di wajahnya.

“Cucuku sayang… Selama ini nenek selalu menceritakan semuanya padamu.  Kisah-kisah hebat dari pulau seberang, Kemegahan dunia yang luas ini, dan banyak hal menakjubkan lainnya. Karena nenek berharap, kau juga selalu bisa merasakan keindahan dunia ini meski kau tidak pernah mengunjunginya ataupun melihatnya secara langsung. Sayangku, tapi nenek lupa satu hal. Hidup memang tak selalu indah. Ada banyak hal-hal kecil yang selalu jadi kambing hitam dalam kehidupan”, nenek menghela napas, “adakala nya nenek merasa kau turut bahagia dengan cerita nenek. Tapi  terkadang nenek resah akan satu hal. Nenek rasa semua orang  membutuhkan cinta dan kasih sayang. Bukankah kau juga merasakan yang sama, sayangku? Tapi lihatlah, nenek begitu kejam padamu. Nenek menyembunyikan nya. Nenek telah lalai, dan menyembunyikan kebenaran darimu,” nenek terisak.

Rey semakin bingung. Kenapa urusan nya jadi rumit seperti ini? Apa yang salah dari  kebahagiaan Rey saat mendengar cerita nenek? Apa nya yang disembunyikan?

“Maka biarlah hari ini nenek ceritakan padamu satu hal. Yang belum pernah nenek ceritakan padamu.  Yang mungkin selama ini kamu cari cari, cucuku.  Nenek tau siapa orang tua mu”, Nenek tersenyum menatap mata Rey yang sekarang mulai berkaca-kaca. Hatinya bagai teriris mendengar kalimat terkahir nenek. Siapa orang tuanya? Bukankah selama ini Rey sangat terpukul karena hal ini?

“Dulu, nenek tinggal di dekat pantai. Setiap hari, bau khas laut dan garam selalu tercium dan memenuhi udara pantai yang sejuk. Kawasan itu ramai oleh pengunjung dan juga para nelayan yang pergi dan pulang melaut. Dulu, suami nenek adalah pemilik pasar di dekat sana. Para nelayan yang pulang dari melaut akan menjual hasil tangkapan mereka di pasar. Pengunjung dan pembeli berkerumun memenuhi pasar.

Ayahmu dulunya juga seorang nelayan. Nenek dan orang tua mu tinggal berdekatan. Kita dulu pernah bertetangga, Rey. Ibumu dan nenek sangat akrab. Kami sering menghabiskan waktu mencari kulit kulit kerang di pantai, lalu kami buat menjadi kerajinan. Kami menjualnya di pinggir pantai. Banyak pengunjung yang tertarik dengan hasil buatan kami.

Hingga suatu hari, ibumu mengandung. Karena ibumu sedang hamil muda, Kami tidak lagi mencari kerang bersama. kami hanya membuat kerajinan di pondok pinggir pantai, menggunakan kerang yang dicari oleh suami nenek dan ayahmu. Sembilan bulan berselang, lahirlah seorang bayi lelaki kecil. Ibumu sangat mencintainya, bahkan nenek ikut menganggapnya seperti anak sendiri.

Di suatu sore yang berangin, saat itu usia mu baru 3 bulan.  Ayahmu belum juga pulang dari melaut. Kami sangat cemas menunggunya. Tapi hingga badai besar berkecamuk ditengah laut sana, ayahmu tak kunjung tampak batang hidungnya. Hingga suatu pagi, kabar pilu itu sampai. Ayahmu tewas ditelan badai yang ganas. Teman-teman ayahmu berhasil selamat, namun tak bisa mencari jasad ayahmu yang tenggelam ke dasar lautan yang gelap dan misterius. Ibumu begitu terpukul. Bagaimanalah nasib nya nanti. Masih menggendong seorang bayi berusia 3 bulan, tak punya pekerjaan tetap, ditinggal suami pula. Lengkap sudah kesusahan ibumu. Ibumu menahan beban berat. Karena itulah ia jatuh sakit.

Nenek ingat sekali, ibumu akhirnya memutuskan pindah ke kota. Mencari pekerjaan disana, mengadu nasib demi bayinya tercinta. Kami melepas pelukan dan bertangisan. Sungguh nenek tak pernah menyangka akan berpisah dengannya begitu cepat.

2 tahun  setelahnya, nenek akhirnya juga memutuskan pindah ke kota. Suami nenek telah meninggal karena sakit. Dan anak nenek satu-satunya harus melanjutkan sekolah yang lebih baik. Berangkatlah nenek ke kota. Dan tahukah kau sayang, nenek bertemu kembali dengan ibumu di pinggir jalan. Nenek tak kuasa melihatnya. Begitu kurus, seperti tengkorak hidup. Ia menggandeng seorang anak laki-laki yang tampan dan menggemaskan. Bayinya sudah tumbuh besar. Anak itu adalah kau, cucuku tercinta. Pasti kau tidak ingat. karena kau baru 2 tahun.

 Nenek sempat bertanya dimana dia tinggal. Ibumu tinggal di bangunan tua itu, Rey. Panti asuhan mu. Ia bekerja di sana. Membantu ibu pemilik panti. Dan kau sejak bayi sudah tinggal di sana. Tapi tak lama berselang, ibumu meninggal karena sakit parah. Nenek datang ke pemakamannya. Tapi nenek tak sanggup membawa mu ke rumah nenek. Maafkan nenek, Rey. Nenek rasa, jika membawamu bersama nenek akan menambah kesedihanmu. Karena kau akan meninggalkan teman-teman mu dan pergi bersama orang yang bahkan belum kau kenal.

Tapi lihatlah. Kini anak lelaki itu sudah remaja. Nenek begitu terharu melihat perkembanganmu. Maka biarlah  nenek ceritakan semuanya padamu, sayangku. Agar kau tak perlu lagi mencari jawaban atas pertanyaan besarmu,” nenek menyelesaikan kalimat terakhirnya ditengah-tengah isak tangis Rey yang semakin menyayat. Ia tak menyangka ternyata orang tua nya sangat mencintainya. Dipikiran nya selama ini adalah, orang tua nya tega membuang ia ketika masih  bayi. Ternyata ia salah. Dan nenek adalah tempat semua pertanyaan itu terjawab. Rey semakin terisak. Bibir nya kelu untuk mengucap sepatah kata pun.

♫♫♫

Hari itu, nenek membawa Rey bersamanya. Mulai sekarang, Rey akan tinggal di rumah nenek. Tapi pekerjaan nya tetap sama. Kurir pengantar surat. Meskipun panti asuhan itu bukan tempat tinggalnya lagi, Rey selalu rajin mampir ke sana. Teman-temannya selalu menunggu nya di sana.

Sore itu, Rey mengayuh sepeda tuanya ke kantor pos. Memarkirnya disamping bangunan itu. Lalu beranjak duduk di bawah pohon di depan kantor pos.  Daun-daun berguguran di sekitarnya. Ia menuliskan sesuatu di secarik kertas.

“Ayah, Ibu… Terimalah surat dariku. Aku tau surat ini tak akan berbalas. karena aku tau kalian sudah tenang disana. Aku tau kalian sangat mencintaiku.  Tolong tunggu aku di sana. Nanti, saat waktu ku telah berhenti untuk selamanya, saat namaku telah terukir indah di atas pusara, saat malaikat akhirnya menjemputku ‘pulang’, aku tidak akan menangisinya. Aku justru akan menyambut kematian ku dengan tulus. Karena pada saat itulah, aku yakin kita akan kembali bersama, dan menghabiskan waktu kita yang dulunya pernah terhenti…

Ayah…Ibu…Aku selalu mencintaimu.

Pangeran kecil kalian.

 Rey.

Read more...

CHERRY BLOSSOMS PROMISE

 

 



 

Sehelai daun luruh, melayang-layang pelan ditiup angin, sebelum jatuh dengan lembut di atas pangkuanku. Aku menutup buku yang kubaca, lalu kembali berbaring di atas rerumputan yang hijau menghampar bak permadani.

Sinar mentari menerobos sela-sela dedaunan, membuat bayang-bayang abstrak di sekitarku. Angin semilir menerpa wajah, sesekali memainkan anak rambut. Sejuk rasanya. Sekitarku terasa hening dan sepi. Kontras sekali dengan isi kepalaku yang begitu riuh rendah.

Adalah kamu… Yang selama ini selalu menjadi biang keributan dalam pikiranku. Wajahmu berseliweran dalam benakku tanpa permisi.  Rambutmu yang tersibak tertiup angin. Aroma tubuhmu yang khas. Senyum manis yang tersungging di bibirmu. Yang ada di pikiranku hanya kamu,dan lagi-lagi kamu.

Kenangan tentangmu menghujamku bertubi-tubi, tanpa memberi jeda sedikitpun. Memoriku seakan tak bisa menghapuskanmu. Kian hari kian kurasa sesak dalam penantian. Namun kutahu bahwa semua tak akan pernah sama lagi seperti dulu.

Aku memejamkan mata. Berusaha menikmati ketenangan di sekitarku. Berusaha melupakan mu, yang dari dulu pun aku tahu, bahwa kau dan aku tidak pernah menjadi kita.

***

Aku lahir tujuh belas tahun silam, ditengah kecamuk badai yang tengah melanda kota. Bayi mungil itu terus menangis kencang tiada henti, seolah tau ada pertanda takdir buruk yang akan menimpanya.

Kelahiran bayi itu tak disambut hangat oleh keluarganya. Tak ada tangis bahagia ataupun cium dan peluk kasih yang melengkapinya. Sungguh malang nasib bayi itu. Ia tak seharusnya lahir ditengah gejolak keributan keluarganya. Tapi takdir tuhan telah menetapkan nya untuk segera mengenal dunia.

Dulunya, keluarga kecilku adalah keluarga yang harmonis. Ayahku bekerja serabutan untuk menghidupi keluarga kecilnya. Ibuku pun sama halnya dengan ayah. Meski tak berkecukupan, keluarga kami tetap bahagia.

Tapi, ayah perlahan-lahan mulai berubah. Rasa bencinya terhadap kehidupannya yang serba tak ada semakin melunjak. Apalagi saat ia tahu bahwa istrinya tengah mengandung seorang bayi. Maka mau tak mau, ia mesti bekerja lebih keras lagi demi menafkahi anak dan istrinya. Tapi keadaan ekonomi yang semakin memburuk membuatnya makin murka. Lengkap sudah kemarahannya.

Akhirnya, ayah mencoba mencari peruntungan lewat permainan judi. Semakin hari ayah semakin sukses dengan mainan barunya. Uang nya melimpah. Tapi tak sepeser pun ia berikan untuk keluarganya. Ayah semakin tak tau diri dan rakus akan gelimang harta. Lelaki itu juga sudah pandai bermain wanita rupanya.

 Tujuh bulan sebelum kelahiranku, ayahku akhirnya memutuskan meninggalkan rumah. Meninggalkan ibu yang tengah mengandung dan aku yang ada dalam kandungan ibu. Bisa kurasakan penderitaan ibuku. Ingin aku memeluknya dan mengatakan bahwa aku mencintainya. Tapi saat itu aku belum lahir, dan masih berusia lima bulan dalam kandungan. Tentu tak ada yang bisa kulakukan selain memberi semangat lewat ikatan batin.dari dalam rahimnya.

Tahun demi tahun berlalu, kini bayi mungil itu sudah remaja, mulai beranjak dewasa. Masa remaja yang hampa dan menyakitkan. Hanya ditemani sang ibu tanpa ada seorang ayah di sampingnya.

Sesekali saat bangun tidur, aku menemukan diriku sendiri sedang menangis. Mengingat semua yang terjadi begitu saja dalam keluargaku tanpa bisa kucegah.

Ayah, di banyak cerita yang kudengar, di banyak film yang kulihat, anak perempuan akan menyandarkan kepalanya pada bahu tegas milik ayahnya, membiarkan air matanya membasahi baju milik ayahnya. Tapi ayah, kenapa bahumu itu terlalu jauh untukku bersandar?

***

“Yuya! Kamu punya waktu?” Tanya ku dari ambang pintu kelas.

“Ya, tentu saja Mey. Ada apa?” Kepalanya yang sedari tadi menunduk memperhatikan buku tiba-tiba mendongak.

“Emm.. Sepertinya kamu sibuk. Apa aku menganggumu?” Aku mengambil kursi di sebelah Yuya dan beranjak duduk.

“Astaga, meyjima! Sudah berapa tahun aku mengenalmu? Apa kamu lupa? Aku selalu bilang kalau kamu tidak pernah menggangguku. Apa aku sebaiknya mengingatkanmu setiap hari? Hmmm?” Ujarnya sambil mengacak-acak rambutku.

Aku tertawa. Berusaha menghindar tapi tangan Yuya lebih cepat dari yang bisa kubayangkan. Sial. Di saat-saat seperti inilah jantungku mulai berdegup kencang. Apa aku menyukai Yuya?Tidak!Tidak mungkin aku menyukai sahabatku sendiri. Aku membatin dalam hati.

"Mey? Kenapa kamu jadi bengong begini? Ada Yang Salah ya?" Yuya menatapku cemas. Bola matanya yang jernih menatapku dengan sangat mempesona. Ini mulai menyebalkan. Kenapa akhir-akhir ini aku terus memuji Yuya?

"YUYA! JANGAN MENATAPKU SEPERTI ITU!" Aku tiba-tiba berteriak kesal. Aku refleks menutup mulut dan merasa bersalah. Kulihat Yuya memasang ekspresi kaget

"Ah, Yuya... Maaf.  Aku hanya sedang kesal memikirkan tugas di kelas tadi. Aku hanya berusaha meluapkannya," aku menghela nafas perlahan.

"Tak apa Mey. Aku memaafkan mu. Aku tahu,akhir-akhir ini tugas sekolah memang menumpuk ya," Yuya tertawa kecil lalu kembali mengusap rambutku.

Oke, sebelum pipiku semakin memerah, aku beranjak pergi dan melambaikan tangan kepada Yuya.

***

Yuya Matsunaga. Lelaki itu adalah teman masa kecilku. Sejak ayah pergi, aku mulai membenci semua lelaki yang aku temui. Tapi Yuya ternyata adalah pengecualian. Entah kenapa setiap bersama nya aku selalu merasa aman. Aku merasakan kasih sayang lewat semua perbuatannya.

 Dia tetanggaku. Aku selalu bermain bersama nya sejak usia 4 tahun. Sama seperti ku, dia juga anak yang kesepian. Orang tua nya sibuk bekerja. Dan dia hanya ditemani oleh beberapa pembantu dirumah besar nya yang kosong dan sepi.

 Kami selalu pergi sekolah bersama. Mengerjakan tugas bersama. Ikut ekstrakurikuler yang sama. Punya hobi yang sama. Kami memiliki banyak kesamaan. Aku bahagia bersama nya. Dan aku bersyukur pernah mengenal nya.

Karena nya aku bisa tersenyum setiap hari meski aku tahu ada kehidupan berat yang harus kujalani.

 

 

***

Suhu kota mulai menurun. Langit mulai terlihat gelap. Matahari yang gagah akhir nya harus mengalah dengan kecantikan sang rembulan. Malam-malam begini, biasanya ibu akan mengajakku mengobrol banyak hal. Namun Ibu tak pernah menyinggung masalah ayah. Tapi, malam ini berbeda. Entah kenapa ibu memilih mengajakku bicara tentang ayah.

"Mey, apa kau pernah merindukan ayah mu?" Tanya nya dengan lembut. Suara nya begitu syahdu,membuat air mata ku seketika mengalir.

"Ibu... Aku tahu betapa kau sangat mencintai ayah. Tapi kenapa aku tidak bisa? Aku merindukan sosok seorang ayah, tapi aku tidak bisa mencintainya. Dia tidak pernah ada dalam hatiku, Ibu. Aku membenci nya!" Aku terisak menangis. Memeluk ibu Di sebelah ku.

 "Kau tentu pernah merasa rindu padanya. Dan di sisi lain, kau tentu membenci nya. Tapi sayang, ketahuilah bahwa sejahat apapun ayahmu, dia tetaplah ayahmu. Kau tidak akan pernah ada di dunia ini jika ayah mu tak ada. Maka setidaknya jangan pernah membenci ayah mu, Mey. Karena sejati nya, sekali dia ayah mu, maka selamanya dia tetaplah ayah mu," ibu tersenyum. Air Mata menumpuk di pelupuk matanya. Kurengkuh tubuh nya dalam pelukku.

"Ibu, aku mencintaimu..." Bisikku lirih. Lalu kami menangis bersama dalam pelukan masing masing. Malam itu terasa panjang. Dan aku tak ingin pagi tiba.

 "Meyjima, apa kau menyukai Yuya Matsunaga?" Ibu tertawa kecil.
Aku terkesiap. kenapa pula ibu harus membicarakan ini tiba-tiba. Pipiku memerah.

"Ibu. Tentu saja tidak. Kenapa aku harus menyukainya? Kami hanya berteman ibu. Teman. Seperti biasa," aku berusaha meyakinkan ibu.

Ibu tertawa sekali lagi, "Mey. Ibumu ini juga pernah muda. Ibu benar benar tau apa yang sedang kamu rasakan. Ada sesuatu yang berbeda. Kamu jelas menyukai Yuya. hanya saja kamu belum bisa menerima fakta ini."

Aku hanya diam tak membalas. Kembali memeluk ibu.
Apakah aku memang menyukai Yuya?

***

Penghujung bulan Maret. Musim semi akhirnya tiba. Bunga sakura mulai bermekaran. Menciptakan nuansa merah muda sejauh mata memandang. Taman-taman di kotaku penuh sesak oleh pengunjung yang ingin melihat kecantikan sakura.

Sama halnya dengan kami. Yuya juga mengajakku bertemu di taman untuk melihat bunga sakura yang bermekaran. Aku langsung menyetujuinya. Ada yang ingin kusampaikan pada nya. Hari ini juga.

"Mey! Di sini!" Yuya berteriak sambil melambai-lambaikan tangannya ke arah ku. Aku mencari suara khas itu. Ternyata dia di sana. Aku berlari lari kecil ke arah nya.

"Yuya. Kamu kemana saja sih? Aku cape mencari mu di antara banyak pengunjung," aku menghembuskan nafas. Pura-pura kesal.

Yuya tertawa lalu seperti biasa, mengacak acak rambut ku sambil tertawa renyah,"sudah kubilang, Mey. Aku tidak suka keramaian. Jadi aku pasti akan datang ke tempat ini karena di sini selalu sepi. Aku tidak tahu kenapa."

"Iya deh. Aku mengalah saja," aku tertawa lalu ikut berbaring di sebelah Yuya. Menatap langit yang tertutup ribuan bunga sakura. Sangat indah, apalagi jika bersama Yuya.

"Mey.. Apa kamu tau filosofi bunga sakura?" Yuya menangkap sehelai bunga sakura yang melayang di atas wajah nya, "bunga sakura memiliki makna kesetiaan janji yang harus ditepati. Karena bunga ini seakan-akan mengatakan bahwa ia akan datang kembali setiap musim nya. Jadi kalau kamu punya janji, harus kamu tepati ya, Mey. Jadilah seperti bunga sakura. Sudah cantik, setia pula," Yuya tertawa sambil menyelipkan bunga sakura ditangan nya ke telinga Ku.

"Yuya, apa aku boleh mengatakan sesuatu padamu?" Aku beranjak duduk. Atmosfer sekitarku mulai terasa serius.

"Tentu saja boleh, Mey. Katakan saja sebanyak yang kamu mau. Aku selalu ada untuk mu."

"Yuya.. Aku tidak tau kenapa aku harus mengatakan ini. Tapi aku benar benar berpikir bahwa aku harus memberitahu mu sebelum semuanya benar benar terlambat. Yuya, sejak pertama kali mengenal mu, aku merasakan betapa bahagia nya ketika aku tidak merasa kesepian. Betapa aku merindukan sosok lelaki yang menyayangiku. Dan dalam dirimu, aku menemukan semuanya. Arti cinta, persahabatan, kasih sayang, perasaan senasib. Semakin beranjak remaja, aku semakin menyadari bahwa ada benih benih cinta aalam diriku. Entah kenapa aku terus merawat benih itu dengan penuh kasih sayang. Hingga benih itu akhirnya berkecambah dan akarnya semakin lama semakin kuat. Lalu mulai tumbuh bunga dari dahan-dahan nya. Dan hari ini, aku ingin memberikan bunga itu padamu. Yuya, aku suka padamu," aku menghela nafas saat aku akhirnya dapat menyelesaikan kata-kataku.

Yuya terdiam lama sekali. Mata nya menatap kejauhan. Kulihat tak ada binar di mata nya yang redup. Kami diam satu sama lain. Tanpa ada percakapan sedikit pun.

"Meyjima Hoshimiya, Aku... Aku benar benar tidak menyangka bahwa itu yang akan keluar dari mulutmu. Aku hanya ingin mengucapkan terimakasih yang mendalam padamu. Terimakasih sudah menemaniku hingga kini. Terimakasih sudah menerimaku dengan begitu baik. Dan aku sangat berterimakasih karena kau sudah menyukai sebesar itu. Sungguh aku benar benar berterima kasih. Tapi ... Maaf aku ternyata tidak memiliki perasaan apapun padamu. Aku sungguh minta maaf tapi aku tidak ingin merusak pertemanan yang Sudah kita jalin selama ini. Aku mohon jangan libatkan perasaan dalam persahabatan kita, Mey. Kau bahkan bisa mencari lelaki lain yang jauh lebih baik dari aku," Yuya menatapku perlahan.

"Aku.. Aku hanya bisa menganggapmu sebagai teman. Sahabat. Maafkan aku, Meyjima. Tapi aku tidak pernah bisa melihatmu sebagai seorang wanita. Aku hanya mampu melihat mu sebagai teman kecil ku. Aku benar benar minta maaf telah membuatmu menyukai ku."

Aku terpaku. Hatiku terasa sesak. Mataku terasa panas. Air mata memenuhi kelopak mataku. Pandangan ku mulai kabur. Tapi aku tidak ingin terlihat lemah di depan Yuya. Aku lalu menghapus air mata itu sebelum menetes ke pipi.

"Yuya. Sungguh. Tidak apa. Aku benar benar tidak apa-apa.. Aku baik baik saja. Jangan meminta maaf seperti itu. Kamu tidak bersalah,Yuya," aku berusaha tersenyum disaat gejolak dalam hatiku terasa menyakitkan.

"Mey, Kita akan selalu berteman seperti biasa. Selamanya. Dan aku berjanji padamu, selama aku ada di dunia ini, aku akan selalu ada untuk mu meski suatu saat nanti kita pasti akan menjalani jalan hidup kita masing masing," Yuya tersenyum perlahan. Menatap mata ku yang kembali berkaca-kaca.

Yuya .. Bagaimanapun juga, tak akan ada yang bisa mengubah fakta bahwa kau adalah cinta pertama ku. Aku akan menepati permintaanmu, agar aku selalu menjadi bunga sakura. Dan aku berjanji padamu, aku akan selalu menatap bunga sakura bersamamu. Dimana pun aku berada, aku akan datang padamu saat musim semi telah tiba, dan menatap langit yang tertutup ribuan bunga sakura. Hanya bersama mu…

 

***

Bunyi ketukan sepatu terdengar berirama. Desau angin menambah kemistisan pemakaman. Nisan-nisan tua berjejer menjadi pemandangan yang mencekam. Beberapa burung gagak terbang mengitari pepohonan.
Aku berjalan sendirian melewati pemakaman-pemakaman tua. Tapi aku tak menghiraukan ketakutanku. Ada yang lebih ingin aku kunjungi hari ini.

Tepat di ujung lahan pemakaman, aku akhirnya melihat sebuah pohon sakura yang berdiri dengan anggun. Kontras sekali dengan keadaan sekitar nya yang begitu suram dan kelabu. Hari ini musim semi kembali lagi. Sakura itu bermekaran dan tetap cantik seperti biasanya. Memberi kehangatan setiap kali aku datang ke sini.

Aku beranjak mendekat ke nisan di bawah pohon itu. Seperti biasa, aku mengusap nisan nya dan meletakkan bunga di sana.

"Yuya... Aku kembali lagi. Tepat seperti yang kamu tahu. Ini adalah musim semi ku tanpa mu yang kesekian kali nya. Sudah berapa lama kamu pergi? Apakah kamu bahagia di Sana? Aku ingat sekali. Tujuh tahun yang lalu kamu tiba-tiba saja dikabarkan meninggal. Kecelakaan itu merenggut mu dari ku. Aku benci mengatakan ini, tapi sampai saat ini aku masih tidak bisa menerima kepergian mu.

 Yuya... Ada banyak sekali yang ingin aku sampaikan padamu. Tapi waktuku tidak banyak. Suamiku telah menungguku di bandara. Dan kami harus mengunjungi mertuaku yang sedang sakit. Aku selalu mengatakan ini. Tapi aku minta maaf, Yuya, aku sudah menikah. Kamu benar. bahwa kita tak sebaiknya melibatkan perasaan dalam pertemanan kita.

Tapi tak akan ada yang bisa mengubah fakta bahwa kau adalah cinta pertamaku. Dan aku tidak akan pernah mengingkari janjiku padamu bahwa aku akan selalu menjadi bunga sakuramu, dan menatap sakura yang bermekaran bersamamu setiap musim nya.

Hari ini aku telah menepati janjiku. Kita sedang menatap bunga sakura, bukan? Meski kau tak ada di sampingku lagi, tapi aku tahu kau saat ini sedang bersamaku, menatap bunga sakura itu.

Yuya .. Beristirahatlah dengan damai. Musim semi berikutnya, aku akan kembali lagi ke sini. Menepati janjiku. Seperti bunga sakura yang melambangkan kesetiaan janji yang harus ditepati."

 

 


Read more...

About this Blog

Seguidores

    © wintercoffee_. Friends Forever Template by Emporium Digital 2009

Back to TOP