Blog Archive

Pages

Blogger templates

Blogger news

CHERRY BLOSSOMS PROMISE

>> Monday 10 October 2022

 

 



 

Sehelai daun luruh, melayang-layang pelan ditiup angin, sebelum jatuh dengan lembut di atas pangkuanku. Aku menutup buku yang kubaca, lalu kembali berbaring di atas rerumputan yang hijau menghampar bak permadani.

Sinar mentari menerobos sela-sela dedaunan, membuat bayang-bayang abstrak di sekitarku. Angin semilir menerpa wajah, sesekali memainkan anak rambut. Sejuk rasanya. Sekitarku terasa hening dan sepi. Kontras sekali dengan isi kepalaku yang begitu riuh rendah.

Adalah kamu… Yang selama ini selalu menjadi biang keributan dalam pikiranku. Wajahmu berseliweran dalam benakku tanpa permisi.  Rambutmu yang tersibak tertiup angin. Aroma tubuhmu yang khas. Senyum manis yang tersungging di bibirmu. Yang ada di pikiranku hanya kamu,dan lagi-lagi kamu.

Kenangan tentangmu menghujamku bertubi-tubi, tanpa memberi jeda sedikitpun. Memoriku seakan tak bisa menghapuskanmu. Kian hari kian kurasa sesak dalam penantian. Namun kutahu bahwa semua tak akan pernah sama lagi seperti dulu.

Aku memejamkan mata. Berusaha menikmati ketenangan di sekitarku. Berusaha melupakan mu, yang dari dulu pun aku tahu, bahwa kau dan aku tidak pernah menjadi kita.

***

Aku lahir tujuh belas tahun silam, ditengah kecamuk badai yang tengah melanda kota. Bayi mungil itu terus menangis kencang tiada henti, seolah tau ada pertanda takdir buruk yang akan menimpanya.

Kelahiran bayi itu tak disambut hangat oleh keluarganya. Tak ada tangis bahagia ataupun cium dan peluk kasih yang melengkapinya. Sungguh malang nasib bayi itu. Ia tak seharusnya lahir ditengah gejolak keributan keluarganya. Tapi takdir tuhan telah menetapkan nya untuk segera mengenal dunia.

Dulunya, keluarga kecilku adalah keluarga yang harmonis. Ayahku bekerja serabutan untuk menghidupi keluarga kecilnya. Ibuku pun sama halnya dengan ayah. Meski tak berkecukupan, keluarga kami tetap bahagia.

Tapi, ayah perlahan-lahan mulai berubah. Rasa bencinya terhadap kehidupannya yang serba tak ada semakin melunjak. Apalagi saat ia tahu bahwa istrinya tengah mengandung seorang bayi. Maka mau tak mau, ia mesti bekerja lebih keras lagi demi menafkahi anak dan istrinya. Tapi keadaan ekonomi yang semakin memburuk membuatnya makin murka. Lengkap sudah kemarahannya.

Akhirnya, ayah mencoba mencari peruntungan lewat permainan judi. Semakin hari ayah semakin sukses dengan mainan barunya. Uang nya melimpah. Tapi tak sepeser pun ia berikan untuk keluarganya. Ayah semakin tak tau diri dan rakus akan gelimang harta. Lelaki itu juga sudah pandai bermain wanita rupanya.

 Tujuh bulan sebelum kelahiranku, ayahku akhirnya memutuskan meninggalkan rumah. Meninggalkan ibu yang tengah mengandung dan aku yang ada dalam kandungan ibu. Bisa kurasakan penderitaan ibuku. Ingin aku memeluknya dan mengatakan bahwa aku mencintainya. Tapi saat itu aku belum lahir, dan masih berusia lima bulan dalam kandungan. Tentu tak ada yang bisa kulakukan selain memberi semangat lewat ikatan batin.dari dalam rahimnya.

Tahun demi tahun berlalu, kini bayi mungil itu sudah remaja, mulai beranjak dewasa. Masa remaja yang hampa dan menyakitkan. Hanya ditemani sang ibu tanpa ada seorang ayah di sampingnya.

Sesekali saat bangun tidur, aku menemukan diriku sendiri sedang menangis. Mengingat semua yang terjadi begitu saja dalam keluargaku tanpa bisa kucegah.

Ayah, di banyak cerita yang kudengar, di banyak film yang kulihat, anak perempuan akan menyandarkan kepalanya pada bahu tegas milik ayahnya, membiarkan air matanya membasahi baju milik ayahnya. Tapi ayah, kenapa bahumu itu terlalu jauh untukku bersandar?

***

“Yuya! Kamu punya waktu?” Tanya ku dari ambang pintu kelas.

“Ya, tentu saja Mey. Ada apa?” Kepalanya yang sedari tadi menunduk memperhatikan buku tiba-tiba mendongak.

“Emm.. Sepertinya kamu sibuk. Apa aku menganggumu?” Aku mengambil kursi di sebelah Yuya dan beranjak duduk.

“Astaga, meyjima! Sudah berapa tahun aku mengenalmu? Apa kamu lupa? Aku selalu bilang kalau kamu tidak pernah menggangguku. Apa aku sebaiknya mengingatkanmu setiap hari? Hmmm?” Ujarnya sambil mengacak-acak rambutku.

Aku tertawa. Berusaha menghindar tapi tangan Yuya lebih cepat dari yang bisa kubayangkan. Sial. Di saat-saat seperti inilah jantungku mulai berdegup kencang. Apa aku menyukai Yuya?Tidak!Tidak mungkin aku menyukai sahabatku sendiri. Aku membatin dalam hati.

"Mey? Kenapa kamu jadi bengong begini? Ada Yang Salah ya?" Yuya menatapku cemas. Bola matanya yang jernih menatapku dengan sangat mempesona. Ini mulai menyebalkan. Kenapa akhir-akhir ini aku terus memuji Yuya?

"YUYA! JANGAN MENATAPKU SEPERTI ITU!" Aku tiba-tiba berteriak kesal. Aku refleks menutup mulut dan merasa bersalah. Kulihat Yuya memasang ekspresi kaget

"Ah, Yuya... Maaf.  Aku hanya sedang kesal memikirkan tugas di kelas tadi. Aku hanya berusaha meluapkannya," aku menghela nafas perlahan.

"Tak apa Mey. Aku memaafkan mu. Aku tahu,akhir-akhir ini tugas sekolah memang menumpuk ya," Yuya tertawa kecil lalu kembali mengusap rambutku.

Oke, sebelum pipiku semakin memerah, aku beranjak pergi dan melambaikan tangan kepada Yuya.

***

Yuya Matsunaga. Lelaki itu adalah teman masa kecilku. Sejak ayah pergi, aku mulai membenci semua lelaki yang aku temui. Tapi Yuya ternyata adalah pengecualian. Entah kenapa setiap bersama nya aku selalu merasa aman. Aku merasakan kasih sayang lewat semua perbuatannya.

 Dia tetanggaku. Aku selalu bermain bersama nya sejak usia 4 tahun. Sama seperti ku, dia juga anak yang kesepian. Orang tua nya sibuk bekerja. Dan dia hanya ditemani oleh beberapa pembantu dirumah besar nya yang kosong dan sepi.

 Kami selalu pergi sekolah bersama. Mengerjakan tugas bersama. Ikut ekstrakurikuler yang sama. Punya hobi yang sama. Kami memiliki banyak kesamaan. Aku bahagia bersama nya. Dan aku bersyukur pernah mengenal nya.

Karena nya aku bisa tersenyum setiap hari meski aku tahu ada kehidupan berat yang harus kujalani.

 

 

***

Suhu kota mulai menurun. Langit mulai terlihat gelap. Matahari yang gagah akhir nya harus mengalah dengan kecantikan sang rembulan. Malam-malam begini, biasanya ibu akan mengajakku mengobrol banyak hal. Namun Ibu tak pernah menyinggung masalah ayah. Tapi, malam ini berbeda. Entah kenapa ibu memilih mengajakku bicara tentang ayah.

"Mey, apa kau pernah merindukan ayah mu?" Tanya nya dengan lembut. Suara nya begitu syahdu,membuat air mata ku seketika mengalir.

"Ibu... Aku tahu betapa kau sangat mencintai ayah. Tapi kenapa aku tidak bisa? Aku merindukan sosok seorang ayah, tapi aku tidak bisa mencintainya. Dia tidak pernah ada dalam hatiku, Ibu. Aku membenci nya!" Aku terisak menangis. Memeluk ibu Di sebelah ku.

 "Kau tentu pernah merasa rindu padanya. Dan di sisi lain, kau tentu membenci nya. Tapi sayang, ketahuilah bahwa sejahat apapun ayahmu, dia tetaplah ayahmu. Kau tidak akan pernah ada di dunia ini jika ayah mu tak ada. Maka setidaknya jangan pernah membenci ayah mu, Mey. Karena sejati nya, sekali dia ayah mu, maka selamanya dia tetaplah ayah mu," ibu tersenyum. Air Mata menumpuk di pelupuk matanya. Kurengkuh tubuh nya dalam pelukku.

"Ibu, aku mencintaimu..." Bisikku lirih. Lalu kami menangis bersama dalam pelukan masing masing. Malam itu terasa panjang. Dan aku tak ingin pagi tiba.

 "Meyjima, apa kau menyukai Yuya Matsunaga?" Ibu tertawa kecil.
Aku terkesiap. kenapa pula ibu harus membicarakan ini tiba-tiba. Pipiku memerah.

"Ibu. Tentu saja tidak. Kenapa aku harus menyukainya? Kami hanya berteman ibu. Teman. Seperti biasa," aku berusaha meyakinkan ibu.

Ibu tertawa sekali lagi, "Mey. Ibumu ini juga pernah muda. Ibu benar benar tau apa yang sedang kamu rasakan. Ada sesuatu yang berbeda. Kamu jelas menyukai Yuya. hanya saja kamu belum bisa menerima fakta ini."

Aku hanya diam tak membalas. Kembali memeluk ibu.
Apakah aku memang menyukai Yuya?

***

Penghujung bulan Maret. Musim semi akhirnya tiba. Bunga sakura mulai bermekaran. Menciptakan nuansa merah muda sejauh mata memandang. Taman-taman di kotaku penuh sesak oleh pengunjung yang ingin melihat kecantikan sakura.

Sama halnya dengan kami. Yuya juga mengajakku bertemu di taman untuk melihat bunga sakura yang bermekaran. Aku langsung menyetujuinya. Ada yang ingin kusampaikan pada nya. Hari ini juga.

"Mey! Di sini!" Yuya berteriak sambil melambai-lambaikan tangannya ke arah ku. Aku mencari suara khas itu. Ternyata dia di sana. Aku berlari lari kecil ke arah nya.

"Yuya. Kamu kemana saja sih? Aku cape mencari mu di antara banyak pengunjung," aku menghembuskan nafas. Pura-pura kesal.

Yuya tertawa lalu seperti biasa, mengacak acak rambut ku sambil tertawa renyah,"sudah kubilang, Mey. Aku tidak suka keramaian. Jadi aku pasti akan datang ke tempat ini karena di sini selalu sepi. Aku tidak tahu kenapa."

"Iya deh. Aku mengalah saja," aku tertawa lalu ikut berbaring di sebelah Yuya. Menatap langit yang tertutup ribuan bunga sakura. Sangat indah, apalagi jika bersama Yuya.

"Mey.. Apa kamu tau filosofi bunga sakura?" Yuya menangkap sehelai bunga sakura yang melayang di atas wajah nya, "bunga sakura memiliki makna kesetiaan janji yang harus ditepati. Karena bunga ini seakan-akan mengatakan bahwa ia akan datang kembali setiap musim nya. Jadi kalau kamu punya janji, harus kamu tepati ya, Mey. Jadilah seperti bunga sakura. Sudah cantik, setia pula," Yuya tertawa sambil menyelipkan bunga sakura ditangan nya ke telinga Ku.

"Yuya, apa aku boleh mengatakan sesuatu padamu?" Aku beranjak duduk. Atmosfer sekitarku mulai terasa serius.

"Tentu saja boleh, Mey. Katakan saja sebanyak yang kamu mau. Aku selalu ada untuk mu."

"Yuya.. Aku tidak tau kenapa aku harus mengatakan ini. Tapi aku benar benar berpikir bahwa aku harus memberitahu mu sebelum semuanya benar benar terlambat. Yuya, sejak pertama kali mengenal mu, aku merasakan betapa bahagia nya ketika aku tidak merasa kesepian. Betapa aku merindukan sosok lelaki yang menyayangiku. Dan dalam dirimu, aku menemukan semuanya. Arti cinta, persahabatan, kasih sayang, perasaan senasib. Semakin beranjak remaja, aku semakin menyadari bahwa ada benih benih cinta aalam diriku. Entah kenapa aku terus merawat benih itu dengan penuh kasih sayang. Hingga benih itu akhirnya berkecambah dan akarnya semakin lama semakin kuat. Lalu mulai tumbuh bunga dari dahan-dahan nya. Dan hari ini, aku ingin memberikan bunga itu padamu. Yuya, aku suka padamu," aku menghela nafas saat aku akhirnya dapat menyelesaikan kata-kataku.

Yuya terdiam lama sekali. Mata nya menatap kejauhan. Kulihat tak ada binar di mata nya yang redup. Kami diam satu sama lain. Tanpa ada percakapan sedikit pun.

"Meyjima Hoshimiya, Aku... Aku benar benar tidak menyangka bahwa itu yang akan keluar dari mulutmu. Aku hanya ingin mengucapkan terimakasih yang mendalam padamu. Terimakasih sudah menemaniku hingga kini. Terimakasih sudah menerimaku dengan begitu baik. Dan aku sangat berterimakasih karena kau sudah menyukai sebesar itu. Sungguh aku benar benar berterima kasih. Tapi ... Maaf aku ternyata tidak memiliki perasaan apapun padamu. Aku sungguh minta maaf tapi aku tidak ingin merusak pertemanan yang Sudah kita jalin selama ini. Aku mohon jangan libatkan perasaan dalam persahabatan kita, Mey. Kau bahkan bisa mencari lelaki lain yang jauh lebih baik dari aku," Yuya menatapku perlahan.

"Aku.. Aku hanya bisa menganggapmu sebagai teman. Sahabat. Maafkan aku, Meyjima. Tapi aku tidak pernah bisa melihatmu sebagai seorang wanita. Aku hanya mampu melihat mu sebagai teman kecil ku. Aku benar benar minta maaf telah membuatmu menyukai ku."

Aku terpaku. Hatiku terasa sesak. Mataku terasa panas. Air mata memenuhi kelopak mataku. Pandangan ku mulai kabur. Tapi aku tidak ingin terlihat lemah di depan Yuya. Aku lalu menghapus air mata itu sebelum menetes ke pipi.

"Yuya. Sungguh. Tidak apa. Aku benar benar tidak apa-apa.. Aku baik baik saja. Jangan meminta maaf seperti itu. Kamu tidak bersalah,Yuya," aku berusaha tersenyum disaat gejolak dalam hatiku terasa menyakitkan.

"Mey, Kita akan selalu berteman seperti biasa. Selamanya. Dan aku berjanji padamu, selama aku ada di dunia ini, aku akan selalu ada untuk mu meski suatu saat nanti kita pasti akan menjalani jalan hidup kita masing masing," Yuya tersenyum perlahan. Menatap mata ku yang kembali berkaca-kaca.

Yuya .. Bagaimanapun juga, tak akan ada yang bisa mengubah fakta bahwa kau adalah cinta pertama ku. Aku akan menepati permintaanmu, agar aku selalu menjadi bunga sakura. Dan aku berjanji padamu, aku akan selalu menatap bunga sakura bersamamu. Dimana pun aku berada, aku akan datang padamu saat musim semi telah tiba, dan menatap langit yang tertutup ribuan bunga sakura. Hanya bersama mu…

 

***

Bunyi ketukan sepatu terdengar berirama. Desau angin menambah kemistisan pemakaman. Nisan-nisan tua berjejer menjadi pemandangan yang mencekam. Beberapa burung gagak terbang mengitari pepohonan.
Aku berjalan sendirian melewati pemakaman-pemakaman tua. Tapi aku tak menghiraukan ketakutanku. Ada yang lebih ingin aku kunjungi hari ini.

Tepat di ujung lahan pemakaman, aku akhirnya melihat sebuah pohon sakura yang berdiri dengan anggun. Kontras sekali dengan keadaan sekitar nya yang begitu suram dan kelabu. Hari ini musim semi kembali lagi. Sakura itu bermekaran dan tetap cantik seperti biasanya. Memberi kehangatan setiap kali aku datang ke sini.

Aku beranjak mendekat ke nisan di bawah pohon itu. Seperti biasa, aku mengusap nisan nya dan meletakkan bunga di sana.

"Yuya... Aku kembali lagi. Tepat seperti yang kamu tahu. Ini adalah musim semi ku tanpa mu yang kesekian kali nya. Sudah berapa lama kamu pergi? Apakah kamu bahagia di Sana? Aku ingat sekali. Tujuh tahun yang lalu kamu tiba-tiba saja dikabarkan meninggal. Kecelakaan itu merenggut mu dari ku. Aku benci mengatakan ini, tapi sampai saat ini aku masih tidak bisa menerima kepergian mu.

 Yuya... Ada banyak sekali yang ingin aku sampaikan padamu. Tapi waktuku tidak banyak. Suamiku telah menungguku di bandara. Dan kami harus mengunjungi mertuaku yang sedang sakit. Aku selalu mengatakan ini. Tapi aku minta maaf, Yuya, aku sudah menikah. Kamu benar. bahwa kita tak sebaiknya melibatkan perasaan dalam pertemanan kita.

Tapi tak akan ada yang bisa mengubah fakta bahwa kau adalah cinta pertamaku. Dan aku tidak akan pernah mengingkari janjiku padamu bahwa aku akan selalu menjadi bunga sakuramu, dan menatap sakura yang bermekaran bersamamu setiap musim nya.

Hari ini aku telah menepati janjiku. Kita sedang menatap bunga sakura, bukan? Meski kau tak ada di sampingku lagi, tapi aku tahu kau saat ini sedang bersamaku, menatap bunga sakura itu.

Yuya .. Beristirahatlah dengan damai. Musim semi berikutnya, aku akan kembali lagi ke sini. Menepati janjiku. Seperti bunga sakura yang melambangkan kesetiaan janji yang harus ditepati."

 

 


0 comments:

About this Blog

Seguidores

    © wintercoffee_. Friends Forever Template by Emporium Digital 2009

Back to TOP