Blog Archive

Pages

Blogger templates

Blogger news

AUTUMN OUTSIDE THE POST OFFICE

>> Monday 10 October 2022

 

 


 

Musim gugur memeluk kota. Sejauh mata memandang, terlihat berbagai macam gradasi warna merah, kuning, dan cokelat. Semburat jingga mencuat dari balik awan-awan merah muda yang  berarak.  Seberkas cahaya mentari terbenam melengkapi lanskap kota yang dilatari hujan daun gugur. Angin bertiup syahdu, dengan  jahil memainkan anak rambut, pun ikut menerbangkan daun-daun yang berguguran ke segala penjuru kota, membuat jalanan dipenuhi daun yang berserakan. Beberapa petugas kebersihan tampak kewalahan mengatasi kekacauan yang ditimbulkan daun-daun tersebut. Sambil mengomel, mereka tetap sibuk membersihkan kota. Menjalankan tugas.

 Cuaca yang cukup dingin, membuat siapa saja bergegas merapatkan baju hangat mereka ke tubuh, mengusir rasa dingin yang menyergap. Lalu-lalang kendaraan di jalan semakin sedikit, dan mulai digantikan pejalan kaki yang juga beranjak pulang ke kediaman masing-masing untuk menghangatkan diri. Sama halnya dengan Rey.  Dia bergegas mengayuh sepeda usangnya menuju sebuah kantor pos tua yang berdiri tak jauh dari pusat kota. Hari ini tugas nya telah selesai. Ia memarkirkan sepeda tersebut di samping bangunan tua itu, dan tak lupa ia menjalankan rutinitas terakhirnya sebelum pulang ke rumah, mengucapkan salam perpisahan kepada burung-burung merpati yang selalu setia berada di sekitar kantor pos.

  ♫♫♫

Tepat di pinggir jalan sebuah kawasan, berdiri sebuah bangunan tua yang reyot dan usang. Terlihat jelas bahwa bangunan itu sudah dimakan waktu. Cat di dindingnya bahkan sudah mengelupas, digantikan dengan dinding kelabu yang bernoda akibat tempias air hujan. Beberapa keran air yang terletak di samping bangunan itu sudah terlihat rapuh, dan bocor di beberapa tempat, sehingga air tak henti-hentinya menetes dari sana, membuat sebagian halaman itu sedikit basah dan berlumut.

Bangunan tua  itulah tempat tinggal Rey. Ia tumbuh besar di sana, tanpa mengetahui siapa orang tua kandung nya, darimana asal nya, juga alasan kenapa dia ada di panti asuhan itu. Beribu pertanyaan selalu membajiri benak nya. Entah sampai kapan ia akhirnya siap menanyakan itu pada Ibu pemilik panti. Entahlah… Rey hanya takut pertanyaan nya akan mengacaukan semuanya. Boleh jadi, setelah mendengar cerita aslinya, ia malah semakin membenci orang tua nya. Atau bahkan, boleh jadi  ia ikut membenci takdir nya sebagai anak panti asuhan yang tak punya orang tua.

Rey duduk termenung di sudut ruangan. Seberkas cahaya mentari sore menelisik di sela-sela jendela, membuat garis-garis panjang membayang di lantai yang dingin. Tubuhnya lelah setelah seharian bekerja di kantor pos. Juga dengan batin nya. Ia lelah terus mencari jawaban atas pertanyaan-pertanyaan nya.  Akhirnya, setelah satu jam hanya merenung,  Rey memutuskan tidur lebih awal. Tidak peduli saat teman-teman sebaya nya mengajak bermain di luar. Ia hanya melambaikan tangan, mengambil posisi. Tidur.

♫♫♫

Akhirnya, pagi yang dingin kembali menyiram kota. Rey bangun dengan sedikit kesal. Tadi teman-temannya tertawa jahil, dengan sengaja mememercikkan air dingin ke muka nya, membuat bibir Rey bergetar kedinginan. Rey pun membalas nya dengan ikut memercikkan banyak air ke teman-temannya, membuat Franky, salah satu teman dekat nya di panti asuhan, basah kuyup. Dalam sekejap, Kamar kecil nan sempit itu menjadi tempat perang air dingin. Mereka tertawa lepas, membuat ramai panti asuhan tersebut sepagi buta.

Setelah meloloskan diri dari ‘medan perang’, Rey bergegas mandi dan berpakaian. Lalu sarapan seadanya dengan roti dingin sisa kemarin. Rey tampak buru-buru menghabiskan sarapannya. Maklum, dia takut telat tiba di kantor pos. Hari ini, ada sesuatu yang spesial baginya, dan dia tidak mau terlambat. Beberapa Temannya juga sudah bersiap siap pergi bekerja.

Di Panti Asuhan itu, untuk anak-anak yang sudah beranjak remaja, mereka dibebaskan jika ingin bekerja. Tapi ada juga remaja yang tidak bekerja, memilih menghabiskan waktu di panti asuhan, menjaga adik-adiknya. Mereka bebas memilih pekerjaan apapun, selama tidak ada hambatan. Dua tahun yang lalu, Rey memutuskan untuk bekerja di salah satu kantor pos. Menjadi kurir pengantar surat.

Rey tahu, Saat ini benar-benar hanya segelintir orang yang  masih berkirim pesan melalui surat. Peminat nya semakin sedikit semenjak Teknologi mutakhir bermunculan. Tapi Rey bersikeras ingin bekerja di sana. Menurut Rey, berkirim surat adalah hal yang romantis. Di tengah zaman yang semakin maju, terkadang hal kuno bisa menjadi sangat berharga. Maka berangkatlah Rey ke kantor pos, melamar kerja menjadi kurir. Tidak sulit baginya mencari alamat orang. Dia sudah hapal luar kepala isi kota tersebut. Maka, berbekal sepeda tua dari kantor pos, Rey mengantarkan surat-surat ke alamat tujuan, melintasi berbagai jalan dan tikungan, melewati berbagai hal dan pemandangan yang seru.

Rey mengenal seorang nenek yang di tinggal di sudut kota. Nenek ini selalu rajin mengirim surat nya ke kota seberang, dimana anak semata wayang nya sedang mengembara mencari ilmu. Dan Rey mengantarkan surat-surat balasannya ke rumah nenek itu. Ini adalah hal rutin yang dilakukan Rey setiap hari sabtu. Bagi Rey, nenek itu selalu spesial dan berarti banyak. Oleh karena itulah, Rey tidak pernah mau terlambat dari waktunya jika jadwal mengantar surat ke rumah nenek telah tiba.

Hari ini adalah waktu nya ke rumah nenek. Rey bersenandung riang melewati jalanan kota. Beberapa burung mengekorinya dari belakang . Kota terlihat ramai pagi ini. Tentunya dengan pemandangan jingga dan cokelat.  Musim gugur belum usai

“Hai, Nenek! Ada surat balasan untukmu. Seperti biasa”, teriaknya dari luar pagar.

Nenek tertawa renyah. Membuka pintu pagar. Mempersilakan Rey masuk ke rumah nya. Ini adalah salah satu hal yang disukai Rey. Nenek selalu mengajaknya masuk kerumah, lalu menyuguhkannya minuman dan makanan enak yang tidak mampu dia rasakan di panti asuhan. , Lalu mengobrol banyak hal dengan nenek. Nenek juga selalu membacakan isi surat-suratnya pada Rey,  juga buku-buku tua nya. Darinya, Rey bisa membayangkan betapa ajaibnya dunia di luar sana.

Nenek masih sama seperti kemarin. Tersenyum ramah. Mengajaknya masuk. meyiapkan makanan dan minuman. Tapi hari ini tampak ada yang berbeda dari biasanya. Mata memang selalu menjelaskan banyak hal. Entah kenapa mata nenek menyorotkan kesedihan. Tidak tampak binar di sana.

“Rey… Apakah kau rindu orang tua mu?” Nenek bertanya lembut sembari mengusap rambut Rey.

Rey tertegun. ‘Makan besar’ nya terhenti sejenak. Kenapa nenek tiba-tiba jadi bertanya seperti ini? Apa nenek sedih karena itu?

 “Eh.. Memangnya kenapa, Nek?” Rey bertanya canggung, berusaha menghilangkan sisa kekagetan di wajahnya.

“Cucuku sayang… Selama ini nenek selalu menceritakan semuanya padamu.  Kisah-kisah hebat dari pulau seberang, Kemegahan dunia yang luas ini, dan banyak hal menakjubkan lainnya. Karena nenek berharap, kau juga selalu bisa merasakan keindahan dunia ini meski kau tidak pernah mengunjunginya ataupun melihatnya secara langsung. Sayangku, tapi nenek lupa satu hal. Hidup memang tak selalu indah. Ada banyak hal-hal kecil yang selalu jadi kambing hitam dalam kehidupan”, nenek menghela napas, “adakala nya nenek merasa kau turut bahagia dengan cerita nenek. Tapi  terkadang nenek resah akan satu hal. Nenek rasa semua orang  membutuhkan cinta dan kasih sayang. Bukankah kau juga merasakan yang sama, sayangku? Tapi lihatlah, nenek begitu kejam padamu. Nenek menyembunyikan nya. Nenek telah lalai, dan menyembunyikan kebenaran darimu,” nenek terisak.

Rey semakin bingung. Kenapa urusan nya jadi rumit seperti ini? Apa yang salah dari  kebahagiaan Rey saat mendengar cerita nenek? Apa nya yang disembunyikan?

“Maka biarlah hari ini nenek ceritakan padamu satu hal. Yang belum pernah nenek ceritakan padamu.  Yang mungkin selama ini kamu cari cari, cucuku.  Nenek tau siapa orang tua mu”, Nenek tersenyum menatap mata Rey yang sekarang mulai berkaca-kaca. Hatinya bagai teriris mendengar kalimat terkahir nenek. Siapa orang tuanya? Bukankah selama ini Rey sangat terpukul karena hal ini?

“Dulu, nenek tinggal di dekat pantai. Setiap hari, bau khas laut dan garam selalu tercium dan memenuhi udara pantai yang sejuk. Kawasan itu ramai oleh pengunjung dan juga para nelayan yang pergi dan pulang melaut. Dulu, suami nenek adalah pemilik pasar di dekat sana. Para nelayan yang pulang dari melaut akan menjual hasil tangkapan mereka di pasar. Pengunjung dan pembeli berkerumun memenuhi pasar.

Ayahmu dulunya juga seorang nelayan. Nenek dan orang tua mu tinggal berdekatan. Kita dulu pernah bertetangga, Rey. Ibumu dan nenek sangat akrab. Kami sering menghabiskan waktu mencari kulit kulit kerang di pantai, lalu kami buat menjadi kerajinan. Kami menjualnya di pinggir pantai. Banyak pengunjung yang tertarik dengan hasil buatan kami.

Hingga suatu hari, ibumu mengandung. Karena ibumu sedang hamil muda, Kami tidak lagi mencari kerang bersama. kami hanya membuat kerajinan di pondok pinggir pantai, menggunakan kerang yang dicari oleh suami nenek dan ayahmu. Sembilan bulan berselang, lahirlah seorang bayi lelaki kecil. Ibumu sangat mencintainya, bahkan nenek ikut menganggapnya seperti anak sendiri.

Di suatu sore yang berangin, saat itu usia mu baru 3 bulan.  Ayahmu belum juga pulang dari melaut. Kami sangat cemas menunggunya. Tapi hingga badai besar berkecamuk ditengah laut sana, ayahmu tak kunjung tampak batang hidungnya. Hingga suatu pagi, kabar pilu itu sampai. Ayahmu tewas ditelan badai yang ganas. Teman-teman ayahmu berhasil selamat, namun tak bisa mencari jasad ayahmu yang tenggelam ke dasar lautan yang gelap dan misterius. Ibumu begitu terpukul. Bagaimanalah nasib nya nanti. Masih menggendong seorang bayi berusia 3 bulan, tak punya pekerjaan tetap, ditinggal suami pula. Lengkap sudah kesusahan ibumu. Ibumu menahan beban berat. Karena itulah ia jatuh sakit.

Nenek ingat sekali, ibumu akhirnya memutuskan pindah ke kota. Mencari pekerjaan disana, mengadu nasib demi bayinya tercinta. Kami melepas pelukan dan bertangisan. Sungguh nenek tak pernah menyangka akan berpisah dengannya begitu cepat.

2 tahun  setelahnya, nenek akhirnya juga memutuskan pindah ke kota. Suami nenek telah meninggal karena sakit. Dan anak nenek satu-satunya harus melanjutkan sekolah yang lebih baik. Berangkatlah nenek ke kota. Dan tahukah kau sayang, nenek bertemu kembali dengan ibumu di pinggir jalan. Nenek tak kuasa melihatnya. Begitu kurus, seperti tengkorak hidup. Ia menggandeng seorang anak laki-laki yang tampan dan menggemaskan. Bayinya sudah tumbuh besar. Anak itu adalah kau, cucuku tercinta. Pasti kau tidak ingat. karena kau baru 2 tahun.

 Nenek sempat bertanya dimana dia tinggal. Ibumu tinggal di bangunan tua itu, Rey. Panti asuhan mu. Ia bekerja di sana. Membantu ibu pemilik panti. Dan kau sejak bayi sudah tinggal di sana. Tapi tak lama berselang, ibumu meninggal karena sakit parah. Nenek datang ke pemakamannya. Tapi nenek tak sanggup membawa mu ke rumah nenek. Maafkan nenek, Rey. Nenek rasa, jika membawamu bersama nenek akan menambah kesedihanmu. Karena kau akan meninggalkan teman-teman mu dan pergi bersama orang yang bahkan belum kau kenal.

Tapi lihatlah. Kini anak lelaki itu sudah remaja. Nenek begitu terharu melihat perkembanganmu. Maka biarlah  nenek ceritakan semuanya padamu, sayangku. Agar kau tak perlu lagi mencari jawaban atas pertanyaan besarmu,” nenek menyelesaikan kalimat terakhirnya ditengah-tengah isak tangis Rey yang semakin menyayat. Ia tak menyangka ternyata orang tua nya sangat mencintainya. Dipikiran nya selama ini adalah, orang tua nya tega membuang ia ketika masih  bayi. Ternyata ia salah. Dan nenek adalah tempat semua pertanyaan itu terjawab. Rey semakin terisak. Bibir nya kelu untuk mengucap sepatah kata pun.

♫♫♫

Hari itu, nenek membawa Rey bersamanya. Mulai sekarang, Rey akan tinggal di rumah nenek. Tapi pekerjaan nya tetap sama. Kurir pengantar surat. Meskipun panti asuhan itu bukan tempat tinggalnya lagi, Rey selalu rajin mampir ke sana. Teman-temannya selalu menunggu nya di sana.

Sore itu, Rey mengayuh sepeda tuanya ke kantor pos. Memarkirnya disamping bangunan itu. Lalu beranjak duduk di bawah pohon di depan kantor pos.  Daun-daun berguguran di sekitarnya. Ia menuliskan sesuatu di secarik kertas.

“Ayah, Ibu… Terimalah surat dariku. Aku tau surat ini tak akan berbalas. karena aku tau kalian sudah tenang disana. Aku tau kalian sangat mencintaiku.  Tolong tunggu aku di sana. Nanti, saat waktu ku telah berhenti untuk selamanya, saat namaku telah terukir indah di atas pusara, saat malaikat akhirnya menjemputku ‘pulang’, aku tidak akan menangisinya. Aku justru akan menyambut kematian ku dengan tulus. Karena pada saat itulah, aku yakin kita akan kembali bersama, dan menghabiskan waktu kita yang dulunya pernah terhenti…

Ayah…Ibu…Aku selalu mencintaimu.

Pangeran kecil kalian.

 Rey.

0 comments:

About this Blog

Seguidores

    © wintercoffee_. Friends Forever Template by Emporium Digital 2009

Back to TOP